Rabu, 01 Juli 2009
Nike Ardilla dalam kenangan
Hari itu �19 Maret 1995� sekitar pukul. 06.00 WIB, pesawat telepon dikediaman pasangan R. Eddy Kusnaedi�Nining Ningsihrat berdering. Di ujung sana, seseorang yang mengaku petugas polisi memberi sebuah kabar. �Anak ibu, Nike Ardilla, mengalami kecelakaan. Sekarang, ia berada di Rumah Sakit,� kata si polisi. Karena, sering mendapat telepon model seperti itu, awalnya Nining tak menggubrisnya. Ia malah balik bertanya, �Kamu siapa? Punya nomer telepon nggak?� Lalu suara di seberang mulai menyebutkan beberapa nomer. Namun entah kenapa, Nining lalu tak sadarkan diri. Pandangannya berangsur-angsur gelap. Ia jatuh pingsan.
Kabar itu ternyata bukan isapan jempol. Belakangan, informasi Nike mendapat kecelakaan makin kencang. �Kami diberi tahu Paman, kalau mobilnya Nike tabrakan di Jalan Riau. Cuma persisnya, dengan siapa dia di mobil itu, kami nggak tahu,� papar Alan yang kini mengurus museum Nike Ardilla. Lalu, kata Alan, ia, kakak, dan ayahnya berinisiatif mencari kebenaran kabar itu. �Kami lalu membagi tugas. Saya kebagian menyusuri Bandung Tengah, papi ke Bandung Timur dan kakak mencari ke Bandung Barat,� kenang Alan lagi.
Namun sampai di Jalan Riau, Alan kebingungan. Tak sedikit pun di jalan itu ada bekas kecelakaan. �Ya, minimal ada bekas pecahan kaca, tapi ini nggak ada sama sekali,� papar Alan lagi. Pencarian kemudian dilakukan ke Polsek terdekat dan Polwiltabes Bandung. Tapi pencarian Alan nihil. Pencarian kemudian beralih ke Rumah Sakit. Rumah sakit yang disambanginya RS Baromeus, RS Hasan Sadikin dan RS Advent. �Namanya tabrakan, pasti dirawat ke UGD. Tapi saya cari di UGD di Rumah Sakit itu nggak ada,� ceritanya lagi. Alan kemudian memutuskan balik lagi ke Jalan Riau.Persis di sebuah telepon umum di jalan itu, Alan berhenti. Belakangan, Alan tahu di telepon umum itulah adiknya kecelakaan.
Alan lalu menelepon ke rumah. �Orang rumah dapat kabar kalau mobil Nike berada diPolres Bandung Tengah. Saya langsung datang ke sana,� ceritanya lagi. Alan tak bisa menahan kaget ketika mendapati mobil adiknya sudah rusak berat. Pada seorang polisi, Alan menanyakan di mana adiknya berada. �Kata polisi, Nike ada di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Saya bilang, saya barusan dari sana, tapi nggak ada. Akhirnya dengan berat hati ia mengatakan bahwa Nike sudah meninggal. Karena itu ia tidak dibawa ke UGD. Mendengar itu saya langsung lemas,� papar Alan dengan mata berkaca-kaca.
Keluar dari Polres, Alan bertemu dengan ayahnya dan kakaknya. Ia dan papi-nya lalu menuju RS Hasan Sadikin. Sampai di kamar mayat, mereka terkejut dengan banyaknya orang yang mengerubungi kamar mayat. Nining yang semula pingsan, lalu tersadar ketika berada di rumah sakit. �Di hadapan saya ia terbaring dengan kepala penuh luka dan dada memar,� kenang Nining lirih.
Kabar kematian Nike kemudian meluas. Banyak fans yang menyampaikan rasa duka dengan datang langsung ke rumah Nike. �Ketika jenazah Nike dibawa pulang, sepanjang jalan ke rumah saya melihat banyak orang, mereka seperti berbaris,� kenang Alan lagi. Rumah keluarga Nike juga dipadati penggemar. �Bayangkan, rumah yang sebegitu kecil dihuni sekitar 200-orang. Mereka bukan keluarga. Mereka itu penggemarnya Nike. Akibatnya rumah jadi sesak,� lontarnya lagi.
Oleh keluarga Nike dikebumikan di Ciamis. �Itu maunya Papi. Dia mau, kalau ada anggota keluarga meninggal semua dikebumikan di Ciamis,� pungkas Alan. Dari Bandung jenazah Nike kemudian dibawa ke Ciamis. Banyak penggemar Nike yang mengantarkannya sampai ke tempat peristirahatan terakhir. �Wah di pemakaman jumlahnya malah lebih banyak lagi,� tandas Alan yang mengaku terharu dengan sambutan fans adiknya. Beda dengan Alan, Nining malah tak tahu persis bagaimana situasi pemakamannya. �Maklum waktu itu saya tengah sedih banget Nike meninggal. Jadi nggak sempat memerhatikan apapun,� sahutnya.
Soal kabar kecelakaan yang menimpa Nike lantaran menyetir dalam kondisi mabuk, Alan tak mempermasalahkan itu. �Bagaimana orang tidak berpersepsi negatif? Sebelum kecelakaan itu terjadi Nike bolak balik masuk diskotek,� ujar Alan. Makanya untuk menepis dugaan itu, keluarga melakukan otopsi. Hasilnya, Nike tak terbukti dalam pengaruh obat- obatan atau minuman keras.
Tapi lantaran sibuk mengurus pemakaman Nike, surat otopsi itu tercecer entah ke mana. Bukan cuma surat otopsi, sampai sekarang surat kematian Nike pun tak diketahui juntrungannya. Akibatnya, ketika banyak orang meminta bukti sahih Nike tak memakai obat atau minuman keras, keluarga Nike tak punya bukti otentik. �Kami pernah cek ke bar yang dikunjungi Nike. Dari bill diketahui Nike tak pernah memesan minuman keras. Ia malah memesan es jeruk atau susu,� kata Alan lagi.
Cerita Nining, tak ada firasat buruk sebelum anaknya meninggal. Cuma sehari sebelum meninggal, anaknya itu sempat meminta maaf padanya ketika hendak bepergian. �Neng (panggilan akrab Nike) sempat meminta maaf pada saya. Dia minta maaf karena selama ini bohong sama saya. Misalnya, bilang mau syuting, padahal main. Bilang mau pemotretan, padahal jalan-jalan. Saya waktu itu sempat menimpali. Bagaimana mau masuk surga, kalau Neng banyak dosa sama mamih? Kala itu dia sempat pula bilang tak akan keluar malam lagi. Dia bilang, ini acara keluar malamnya yang terakhir,� gumanNining. Toh meski sudah 11 tahun ditinggal putri kesayangannya, Nining kerap merasa Nike masih ada. �Setiap mendengar mobil datang, saya selalu terbangun dan menyangka Nike pulang,� jelas Nining lagi.
Nike lahir di Bandung, 27 Desember 1975. Bakat menyanyi Nike mulai tumbuh sejak masih berumur 5 tahun. Darah seni Nike mengalir dari kakeknya. Kakeknya seorang penyanyi keroncong. Di umur 5 tahun, kata Alan, ia sudah berani tampil menyanyi. �Dulu di rumah itu sering ada kumpul-kumpul. Nike sering bernyanyi di situ,� sebut Alan lagi. Di usia 6 tahun, ibunya memboyong guru vokal privat buat Nike. Di saat Nike berusia sekitar 8 tahun, oleh ibunya dimasukkan ke Himpunan Artis Penyanyi Musisi Indonesia (HAPMI) yang diasuh Djadjat Paramor.
Di HAPMI Nike seangkatan dengan Inka Christie. Di sini, Nike digembleng jadi penyanyi. �Buat membentuk keberanian, ia disuruh ngamen di toko-toko,� celoteh Alan lagi. Di kelas 5 SD, dia sudah merasakan serunya diadu dengan teman sebayanya dalam berbagai festival pop singer di Bandung. Bahkan, dia pun sempat diadu di tingkat nasional dalam ajang Lagu Pilihanku. Bagusnya, Nike selalu mendapat nomor di arena lomba ini. Puncaknya, tahun 1987 dia jadi juara I golongan Teruna Festival Musik Tiga Warna di Bandung.
Di perkumpulan itu, ia bertemu dengan Deni Kantong, guru menyanyinya dan Denny Sabri, manajernya. Oleh Denny, Nike dimasukkan dalam trio yang diberi nama The Denny�s. Mereka pernah bernyanyi hingga ke Aceh. Denny Sabri juga yang pertama kali mengangkat Nicky Astria dan Mel Shandy ke pentas musik rock, sebelum digarap orang lain. Denny juga yangmengantarkannya ke Deddy Dores.
Sebelum namanya melambung, Nike pernah ikutan berbagai proyek rekaman. Salah satunya album Bandung Rock Power. Di situ Nike memainkan satu lagu. Waktu itu ia masih memakai nama Nike Astrina, bukan Nike Ardilla. Nama Astrina dipakai karena ia penggemar Nicky Astria. Namun karena nama ini tidak membawa hoki, segera saja diubah menjadi Nike Ardilla. �Nama itu diberikan Denny Sabri. Entah kebetulan atau tidak, di Ciamis itu ada bukit yang namanya Ardilaya,� terang Alan. Nama Ardilla itu dipilih dengan maksud agar kariernya terus menanjak mencapai puncak, setinggi gunung Ardilaya. Gunung Ardilaya ini juga sangat disegani penduduk Ciamis karena di atas puncak gunung itu terletak makam keramat yang amat dihormati. Nama baru inilah yang kemudianmembawanya ke puncak karier.
Di tangan Deddy Dores, Nike mulai tercatat sebagai Lady Rocker berpengaruh. Debut albumnya, Seberkas Sinar kurang meledak. Namun lewat album keduanya, Bintang Kehidupan yang laku 400.000 keping, ia merebut BASF Award 1990 untuk album pop rock terlaris. Kemudian 1991 dan 1993 meraih lagi penghargaan itu lewat album Nyalakan Api dan Biarkan Aku Mengalah. Dalam waktu singkat Nike jadi idola baru. Ia dianggap sukses menyisihkan ratu rock Nicky Astria yang kala itu sedang turun pamornya. Kala itu, Nike nyaris tanpa pesaing.
Tak puas berkarier di jalur musik, dara bertinggi/berat 168/50 ini terjun pula ke dunia akting. Ia pernah membintangi sinetron None, Warisan, Trauma Marissa. Di sinetron, Nike tak canggung berakting bersama El Manik, Rano Karno, dan Didi Petet. Nike memang laris di layar perak. Dalam tiga tahun ia juga tercatat membintangi sembilan film, Kasmaran (1987), Gadis Foto Model (1988), Si Kabayan saba Metropolitan/Kota (1989), Nakalnya Anak Muda (1990), Lupus IV (1990), Olga & Sepatu Roda (1991). Saat panggung musik rock dicekal akibat kerusuhan konser Metallica di Jakarta tahun 1993, Nike tak panik. Tawaran bermain sinetron, film, menjadi model iklan serta pemotretan berbagai media cetak datang sambung menyambung.
Meski populer dan mengantungi banyak uang, tak membuatnya ia lupa berbagi dengan orang lain. Tahun itu juga, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Wawasan Nusantara bagi anak anak cacat di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Di yayasan itu ia menjabat sebagai penyandang dana sekaligus Sekretaris Yayasan. Langkahnya di dunia seni kian tak terbendung setelah merilis album Nyalakan Api. Album itu kembali meraih BASF Awards.
Nike juga menyabet penghargaan sebagai pendatang baru terbaik pada Asia Song Festival di Shanghai (1991). Bak kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup. Dia mulai diterpa banyak gosip. Ada kabar yang mengatakan Nike pencandualkohol, obat terlarang, dan lesbianisme. Menghadapi gosip itu, cewek yang sampai akhir hayatnya tak bisa mengabulkan cita-cita mendirikan madrasah dan menunaikan ibadah umrah ini, tetap tegar.
Menurut Alan, semasa hidup Nike tergolong tipe orang dewasa. �Padahal umurnya di bawah saya. Malah bisa dibilang dia itu lebih dewasa dari saya. Mungkin ini karena dia bergaul dengan banyak orang. Nike juga sering mengajarkan saya bersosialisasi. Baru setelah dia meninggal, saya menyadari ilmu yang diajarkan itu ternyata sangat berguna,� papar Alan. Di mata sang ibunda, Nike tergolong anak yang sangat manja. Maklumlah ia anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan. Saking manjanya, walau sudah cukup dewasa, Nike tidur bersama kedua orangtuanya. Nike juga tipikal gadis pemurah. Kepada siapapun ia sering memberi. �Apalagi pada orangtuanya,� kenang Ningsih lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar